Kritik atas Puisi Sukma yg Berjudul Ibu Indonesia

KRITIK ATAS PUISI SUKMAWATI YG BERJUDUL IBU INDONESIA
OLEH: Drs.Moh.Ya’kub,MM.Pd
IBU INDONESIA
Aku tak tahu Syariat Islam
Yang kutahu sari konde ibu Indonesia sangatlah indah
Lebih cantik dari cadar dirimu
Gerai tekukan rambutnya suci
Sesuci kain pembungkus ujudmu
Rasa ciptanya sangatlah beraneka
Menyatu dengan kodrat alam sekitar
Jari jemarinya berbau getah hutan
Peluh tersentuh angin laut
Lihatlah ibu Indonesia
Saat penglihatanmu semakin asing
Supaya kau dapat mengingat
Kecantikan asli dari bangsamu
Jika kau ingin menjadi cantik, sehat, berbudi, dan kreatif
Selamat datang di duniaku, bumi Ibu Indonesia
Aku tak tahu syariat Islam
Yang kutahu suara kidung Ibu Indonesia, sangatlah elok
Lebih merdu dari alunan adzan mu
Gemulai gerak tarinya adalah ibadah
Semurni irama puja kepada Ilahi
Nafas doanya berpadu cipta
Helai demi helai benang tertenun
Lelehan demi lelehan damar mengalun
Canting menggores ayat ayat alam surgawi
Pandanglah Ibu Indonesia
Saat pandanganmu semakin pudar
Supaya kau dapat mengetahui kemolekan sejati dari bangsamu
Sudah sejak dahulu kala riwayat bangsa beradab ini cinta dan hormat kepada
ibu Indonesia dan kaumnya.

PUISI DALAM BENTUK VIDEO
TEMPAT PUISI DIBACA
Puisi di atas dibacakan oleh Sukmawati dalam acara 29 Tahun Anne Avantie Berkarya di Indonesia Fashion Week 2018.
KERITIKAN SAYA
Saya percaya, Sukmawati memang tidak memahami syariat Islam secara mendalam, kecuali sebatas hal-hal yg rutinitas keseharian yg menyangkut ritualitas keberagamaan seperti puasa, sholat dll. Tapi, dia nampaknya lebih bisa memahami keragaman budaya Indonesia. Hal itu bisa dimengerti lantaran Sukmawati adalah titisan sang Proklamator Indonesia, Soekarno.
Sebetulnya, jika kita menyimak puisi ini secara utuh maka kita dapat melihat kegundahan Sukmawati atas sikap sebagian kecil anak negeri ini, yakni sikap intoleransi, sudah mulai tercerabut dari akar budayanya sendiri, mau menang sendiri, penuh kekerasan, radikal, main hakim sendiri, kurang menghargai budaya negerinya sendiri dan lebih menghargai budaya negeri orang lain. Selain itu, Sukmawati melihat, persatuan dan kesatuan bangsa sudah mulai terkoyak-koyak, perlu adanya ikhtiar yang terus menerus untuk menambal-sulam benang kusut NKRI.
Lalu, apa masalahnya? Masalahnya terletak pada pilihan katanya seperti kata “cadar” yang diperbandingkan dengan “konde” dan “adzan” yang diperbandingkan dengan “kidung”. Memang, yang diperbandingkan bukan pada konten cadar-konde dan adzan-kidung, tapi lebih pada orang yg mengenakan cadar-konde dan yang melantunkan adzan-kidung karena setelah kosa kata itu ada kata MU, alias kamu, menjadi cadarmu dan adzanmu. Bisa jadi orang yang mengenakan cadar berprilaku memalukan, karena tidak diimbangi dengan balutan kain ke tubuh secara longgar.
Masalah berikutnya, karena puisi itu merupakan karya sastra, kita harus menangkap bahasa dan diksinya dari perspektip sastra. Tapi sayang, banyak pihak-pihak yang berkepentingan menggoreng puisi ini sedemikian rupa sehingga makna kata denotatifnya ditonjolkan dan makna konotatifnya disembunyinya. Terlebih lagi, hasil gorengannya itu disajikan untuk kalangan awam yg memang tidak mengerti dengan nilai yang terkandung di dalam karya sastra.
Kosa kata dan diksi “adzanmu” yg digunakan Sukmawati bisa jadi bukan mengacu pada konten adzan dalam maknanya yang denotatif, yakni panggilan untuk sholat lima waktu, namun lebih pada orang yang meneriakkan ALLAHU AKBAR tidak pada tempatnya. Bisa jadi Sukmawati memahami bahwa takbir dalam ajaran Islam adalah untuk mengagunggkan asmaNya. Konsekwensi logisnya, kita sebagai mahlukNya sejatinya pada saat yng bersamaan merendahkan diri serendah-rendahnya di hadapan Dzat Yang Maha Besar. Oleh karena itu takbir akan menjadi kehilangan maknanya yg hakiki bila kesombongan orang yang mengucapkannya turut menyertainya. Apalagi takbir kemudian dijadikan instrumen untuk memaki dan membenci orang lain dan atau kelompok lain yang berbeda pandangan ideologi dan haluan politiknya.
Karya sastra adalah sesuatu yang dapat diinterpretasikan sesuai dengan subyektivitas penafsirnya. Al-qur’an, misalnya, sebagai sebuah karya sastra dari Yang Maha Kreator akan sarat dengan maknanya yang konotatif atau asosiatif. Kata يَدُ dalam ayat al-qur’an surat al-fath ayat 10: يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ(The hand of Allah is over their hands) para ahli tafsir tidak mengartikannya kata “hand/tangan” dengan maknanya yang denotatif seperti halnya tangan manusia karena hal itu akan menjerumuskan kita ke dalam kemusyrikan, namun diartikan secara konotatif, yakni KEKUASAAN.
Dalam Tradisi jawa, kita itu tidak cukup bener secara substansi namun juga harus pener, yakni tepat secara momentum. Obama dan kawan2 pernah selfi saat menghadiri acara prosesi kematian Nelsen Mandele. Selfi itu tidak salah alias bener, namun tidak pener, alias tidak pada tempatnya di saat suasana berkabung. Disinilah letak kekurangan Sukmawati dalam memilih bahasa dan diksinya pada penulisan kata cadar dan adzan sekalipun secara substantip benar.

SUMBER
1. https://www.youtube.com/watch?v=AJySxU901cc